Pages

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Puisi Dari Anfield

thumbnail
Mungkin, Anfield adalah salah satu tempat di mana sepakbola dinarasikan dengan indah. Jangan heran jika kemudian Liverpool begitu mahsyur dengan kata-kata indah pembakar semangat.

Lihat saja bagaimana Bill Shankly kerap diceritakan. Berbagai kisah yang Anda dengar akan terkesan begitu heroik hingga seolah-olah Shankly adalah pahlawan dalam legenda, yang kata-katanya diserap dalam-dalam dan jadi bahan penuntun hidup.

Shankly-lah yang meletakkan dasar dan falsafah bagaimana seharusnya Liverpool berjalan. Ketika dia datang, Liverpool bukanlah apa-apa. Dia lantas membuat The Reds melegenda tidak hanya lewat caranya melatih, tetapi juga bersikap.

Anda tentu tahu mengenai kutipan termahsyur Shankly, yang gaungnya bahkan sampai ke ruang-ruang di dunia maya --dunia yang tidak nyata--, mengenai pentingnya menjadi yang pertama. Kalau tidak ingat, demikian bunyinya: "If you’re first, you’re first, and if you’re second you’re nothing".



Ini yang paling gampang diingat. Ada juga kutipan mengenai pendapatnya soal sepakbola yang lebih penting daripada hidup dan mati. Beberapa boleh berpendapat bahwa kutipan yang satu ini agak berlebihan, mengingat mau apapun alasannya nyawa jelas lebih berharga untuk ditukar dengan hal manapun.

Namun, apa mau dikata, yang dikatakan Shankly sudah kadung menggema di hayat pendukung Liverpool. "He made the People happy," demikian tulisan yang tertera di bawah patung perunggunya di luar tribun The Kop. Patung itu meregangkan tangan lebar-lebar, seolah-olah angkuh, seolah-olah menunjukkan penolakan, sekeras penolakannya terhadap bos-bos Liverpool dulu, yang puas melihat klub dalam keadaan biasa-biasa saja.

Kalimat lainnya yang tidak kalah puitis adalah ketika dia menjabarkan nyanyian yang dikumandangkan The Kop, yang kemudian tertera di salah satu buku yang dijual di toko merchandise Liverpool:

"Forget the Beatles and all the rest. This is the Liverpool sound. It's real singing, and it's what the Kop is all about."

Anda boleh mengingat Liverpool sebagai kota tempat lahirnya The Beatles. Tapi, bagi Shankly, irama musik terindah adalah nyanyian yang mungkin nadanya tak karuan yang dihasilkan oleh para pendukung di tribun.

Ada cerita yang mengatakan bahwa Shankly menunjukkan karakteristik khas manajer-manajer klasik Skotlandia. Di Manchester United, Matt Busby juga demikian. Mereka hidup dan mati bersama klub. Ketika klub berada dalam keadaan sekarat, mereka memilih untuk ikut susah bersama.

Hidup dan nyawa Liverpool --juga United-- sebagai sebuah identitas besar pertama kali dihembuskan lewat mulut dan sikap kedua manajer tersebut.

Shankly-lah yang mencetuskan kalimat "This is Anfield" pada sebuah lorong sempit yang mengarah ke lapangan. Baginya itu adalah sebuah statement. Tidak ada keramahan sama sekali untuk lawan, jika urusannya sudah pertandingan. Bagi Shankly, tidak boleh ada yang berani macam-macam dengan Liverpool di Anfield.

Jika Anda berkesempatan untuk mengunjungi Anfield suatu hari nanti, ikutlah tur ke dalamnya. Anda akan mengetahui bahwa banyak syarat dan ajaran dalam klub itu diletakkan oleh Shankly. Mulai dari falsafah bermain sampai hal paling kecil seperti luas ruang ganti pemain.

Ruang ganti para pemain Liverpool tidaklah besar apalagi mewah. Jangan harap ada televisi atau alat-alat modern seperti komputer di dalamnya. Ruang ganti itu juga sederhana dan relatif sempit untuk ukuran klub sebesar dan se-mendunia Liverpool.



Alasannya gampang: Jika sudah masuk ke dalam stadion, para pemain diharuskan lepas dan tertutup dari hal-hal di luar lapangan. Yang harus ada di benak hanyalah pertandingan, pertandingan, dan pertandingan.

Di dalam ruang ganti itu hanya ada bangku panjang tanpa sekat, tempat para pemain duduk setengah melingkar. Ruang di hadapan mereka diperuntukkan untuk manajer sebagai pemimpin, berdiri memberikan instruksi. Benda-benda lainnya di ruangan itu hanyalah meja pijat biasa dan sebuah papan tulis dengan kertas untuk menjabarkan formasi dan taktik.

Shankly tidak ingin ruang ganti yang terlalu besar. Dia ingin para pemainnya berdekatan satu sama lain karena sedemikian pentingnyalah kebersamaan dalam sebuah tim. Oleh karena itu, jangan heran ketika memasuki ruang ganti tersebut ada sebuah foto berbingkai besar dengan gambar para pemain Liverpool merayakan gol. Foto itu menekankan pentingnya sebuah team work.

"Coming together is a beginning, keeping together is progress, working together is a success," demikian bunyi kalimat yang tertera di foto tersebut.

Tidak heran jika kemudian Shankly begitu diagung-agungkan. Dia lebih dari sekadar manajer. Kalau boleh digambarkan, dia lebih mirip seperti seorang nabi yang mencetuskan sebuah ajaran.

Ajaran-ajarannya inilah yang kemudian menurun kepada manajer-manajer setelahnya dan juga para pemain yang bermain setelah eranya. Jangan heran jika kemudian di tembok-tembok di dalam Anfield penuh dengan kutipan-kutipan bagus, baik dari para manajer, bekas pemain, hingga seorang Johan Cruyff yang terkenal filosofis itu.



"There's not one club in Europe with an anthem like You'll Never Walk Alone. I sat there watching the Liverpool fans and they sent shivers down my spine. A mass of 40,000 people became one force behind their team. That's something not many teams have. For that I admire Liverpool more than anything," demikian ucapan Cruyff yang dipajang besar-besar.

Tembok-tembok di Anfield adalah kumpulan puisi yang menarasikan kebesaran klub itu sendiri. Tembok-tembok itu membuat kutipan-kutipan penuh pengharapan a la Paulo Coelho tak lebih dari sekadar tips murahan di majalah mingguan.




Sumber : http://sport.detik.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
0Comments

Salahkah Membangun Tim dengan Bertumpu Pada Satu Pemain?

thumbnail

Katanya, Liverpool tidak bisa apa-apa tanpa Luis Suarez. Lalu kenapa? Membangun tim dengan fokus permainan pada satu bintang terbukti jadi salah satu jalur menuju kesuksesan.

Mari layangkan ingatan kita kembali ke musim lalu, pada kala Gareth Bale sedang jaya-jayanya bersama Tottenham Hotspur. Banyak yang berkata bahwa tanpa Bale, Spurs hanyalah sebuah tim papan tengah. Bale terlalu bagus untuk mereka. Musim lalu, bisa dibilang bahwa Spurs berlabel "one-man team". Sebuah atribut yang bisa berarti positif maupun negatif.

Permainan Bale begitu mencolok musim lalu. Namun, apakah ini merupakan sesuatu yang buruk?

Well, sejujurnya Spurs tanpa Bale seperti macan tak bergigi. Hal yang sama juga berlaku untuk Luis Suarez di Liverpool, Barcelona tanpa Lionel Messi, Real Madrid tanpa Cristiano Ronaldo, dan tim-tim berlabel one-man team lainnya sepanjang sejarah permainan ini berlangsung.

Pertanyaannya adalah, bolehkah tim-tim ini terlalu tergantung pada satu pemain saja untuk mencetak gol,assist, dan segala sesuatu yang lain yang berbau kebrilianan dalam menyerang? Jika memiliki senjata yang begitu tajam, kenapa tidak boleh memaksimalkan potensi sang senjata hingga ke titik tertingginya?

Menelisik Definisi One-Man Team

Sebelum berbicara banyak, mari bertanya. Apakah definisi dari one-man team? Percaya atau tidak, "one-man" tersebut bisa berarti banyak. Secara umum, pada banyak kasus, artinya adalah tim yang bergantung pada pemain yang paling bertalenta. Arti kata "paling" ini adalah "sangat jauh di atas rekan-rekannya".

Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri adalah si pemain bintang pada one-man team biasanya beroperasi pada area attacking third lapangan. Maknanya, ia adalah seorang pemain depan, atau pemain tengah yang gemar menyerang.

Contoh-contohnya seperti: Argentina dengan Maradona-nya pada Piala Dunia Meksiko 1986, Southampton dengan Matt Le Tissier pada tahun 1990-an, dan juga Blackburn Rovers dengan Alan Shearer kala menjuarai Liga Inggris 1994-1995.

Tim-tim di atas adalah tim yang dihuni oleh pesepakbola dengan talenta penyerangan yang luar biasa. Sementara pada kasus Barcelona (Messi) dan Real Madrid (Ronaldo), kedua tim ini memiliki mega-bintang yang juga bahu-membahu bersama pemain-pemain lainnya yang memang kelas dunia.

Dua Tipe One-Man Team .

Ada beberapa perbedaan dari one-man team, yang bisa dilihat dari cara permainan sebuah tim. Secara umum saya akan membagi ke dalam dua tipe. Namun, masing-masing memiliki variasinya sendiri-sendiri.

One-Man Team tipe pertama adalah yang paling sederhana: tim yang membangun taktik dan strategi untuk memaksimalkan potensi satu pemain utama. Dari sinilah penggunaan istilah "one-man team" muncul.

Namun, meski terdengar sebagai strategi yang tidak bisa diandalkan, sebenarnya one-man team sudah jadi praktik yang lazim. "Sudah menjadi hal yang wajar untuk membangun sebuah tim di sekitar satu pemain yang paling menonjol", ujar Robbie Mustoe, mantan gelandang Middlesbrough yang sekarang menjadi seorang analis sepakbola.

Mari kembali ke ilustrasi Gareth Bale di Spurs musim lalu. Menurut Mustoe, Andre Villas-Boas mengerti bahwa dengan kemampuan Bale, pasti pemain ini dibutuhkan untuk berada pada area tengah lapangan. Akibatnya, AVB akan memastikan pemain-pemain lainnya untuk menutup ruang di sisi yang Bale tinggalkan.

"Kredit untuk Bale yang bisa memerankannya, dan juga untuk AVB yang menyadari pentingnya strategi tersebut untuk tim," tambah Mustoe.

Contoh lainnya adalah Messi pada musim 2010-2011, ketika ia mulai banyak mencetak gol. Pada musim sebelumnya Messi hanya mencetak 17 gol untuk Barcelona. Tapi, dengan skema permainan Barca, sampai sekarang angka gol Messi sudah lebih dari 200 gol (223 gol tepatnya, dan masih terus bertambah sampai saya menulis artikel ini, dan bertambah banyak lagi sampai Anda membaca artikel ini).

One-man team tipe kedua adalah tim yang biasanya tidak memiliki banyak cing-cong pada taktik. Pada tim seperti ini, ada kecenderungan pemain tampil menjadi "jimat". Salah satu contohnya adalah pemain seperti Michael Ballack, yang (hampir) bisa dibilang seorang diri saja berhasil membawa Jerman ke final Piala Dunia 2002.

Waktu itu, Jerman ke final dengan hanya mengandalkan dua pemain bintang. Bisa dikatakan, kiper Oliver Kahn adalah satu-satunya rekan setimnas Ballack yang bisa disejajarkan sebagai pemain kelas dunia.

Ballack adalah "jimat" Rudi Voeller. Pelatih Jerman ini tidak merancang permainan Ballack, tapi Ballack sudah dengan sendirinya bisa merancang permainan rekan-rekannya. Ballack tampil sebagai seorang gelandang perusak, perancang, dan pencetak gol dari lapangan tengah.

Lalu ada Diego Maradona pada kategori yang sama namun pada tingkat yang lebih "dewa". Ia membayar lunas kepercayaan Carlos Billardo untuk membangun skuad pemenang Piala Dunia 1986, Argentina, dengan kepemimpinan, kesaktian, dan juga kenakalannya.

Namun, bahkan salah satu pemain terbesar sepanjang masa pun menyadari bahwa ia bukanlah apa-apa tanpa 10 pemain lainnya.

Maradona tidak sendirian dalam berpikir bahwa satu orang tidak bisa memenangi pertandingan seorang diri. "Kamu tidak bisa membiarkan tim kamu berpikir bahwa mereka adalah one-man team", kata Dave Merrington, sang manajer Southampton pada era kejayaan Matt Le Tissier. "Kamu harus memastikan mereka menghormati peran-peran mereka dan juga rekan-rekan setimnya," kata Merrington.

One-man team mungkin akan berhasil. Tapi tidak dalam jangka panjang, jika si pemain bintang percaya dia melakukan itu semua sendiri. Dua contoh terbaik dari sang pemain egois adalah Romario dan Robin Friday. Saat bermain untuk PSV Eindhoven pada 1988, Romario merupakan pemain brilian yang bermain untuk dirinya sendiri dan berlatih untuk dirinya sendiri. Tidak heran kemudian ia malah dibenci rekan-rekan setimnya.

Cerita serupa juga terjadi pada Robin Friday pada tahun 1970-an. Digadang-gadang sebagai bintang Inggris, ia malah menghabiskan karirnya yang singkat bersama Reading di divisi tiga, karena dinilai terlalu egois.

Buah Simalakama Taktik One-Man Team

Salah satu peran manajer adalah sebagai penyeimbang. Adalah manajer yang harus memutuskan bahwa satu pemain akan menjadi titik fokus tim. Ia harus mempertimbangkan apakah "mengasingkan" salah satu pemain dari rekan-rekan lainnya adalah risiko yang layak diambil.

Banyak yang mengatakan seorang manajer harus menjadi seorang ahli taktik dan juga ahli psikologi. Sayangnya, hal ini akan sangat sulit berlaku bagi manajer yang mencoba membangun timnya di sekitar satu orang pemain saja.

Phil Brown mengaku kesulitan untuk membangun one-man team. Ini terjadi pada saat ia merancang formasi menyerang 4-3-1-2 Hull City pada 2009. Membuat fokus timnya pada gelandang magis Brasil, Geovanni, Brown sebenarnya sukses untuk membuat timnya berhasil bertahan mengarungi ketatnya Premier League Inggris.

Namun, Phil Brown malah berkata bahwa sebuah tim tidak dapat menang dengan mengandalkan individual, meski ia memiliki seorang pemain yang bisa melakukannya. Ini karena ia dihadapkan pada situasi yang serba salah.



Sebagai contoh adalah yang terjadi pada Matt Le Tissier ketika Alan Ball mencoba membangun tim Southampton di sekitar pemain jenius tersebut. "Ball menyuruh saya untuk selalu berada di tengah lapangan. Kemudian ia berkata kepada pemain lainnya bahwa sayalah pemain yang paling bagus, dan sayalah peluang terbaik mereka untuk keluar dari masalah. Jadi semuanya selalu mengoper bola kepada saya," ujar Le Tissier.

Dengan strategi itu, pemain yang terkenal dengan julukan Le God di pantai Selatan Britania itu mencetak 25 gol untuk menghindarkan The Saints dari degradasi pada musim 1994-1995. Ia juga mencetak 20 gol lagi pada musim berikutnya untuk membawa Southampton ke posisi 10 klasemen Liga Inggris.

"Selama saya bermain baik dan kami tidak kalah, tidak ada masalah. Tapi pada beberapa kesempatan ketika saya tidak bermain baik, saya merasakan ada sedikit kebencian dari rekan-rekan setim."

Ketika pemain-pemain istimewa ini berhasil bermain konsisten dan memenangkan pertandingan, pemain-pemain lainnya mungkin akan sedikit longgar kepada si pemain bintang pada saat pertandingan. Namun ketika mereka bermain buruk, semuanya kembali lagi kepada kultur tim. Pemain-pemain senior serta manajer memiliki peran jadi contoh untuk rekan-rekannya.

Sebagai manajer, ia harus bisa mengenal si pemain jenius ini. Manajer juga harus memiliki beberapa pemain yang bertipe krusial, sehingga terdapat keseimbangan yang baik: si pemain jenius ini akan berperilaku baik di dalam maupun di luar lapangan, juga anggota tim lain akan lebih mudah menerima peran si jenius sebagi fokus tim.

Ego bukanlah hal yang mudah untuk ditangani. "Setiap pemain butuh merasa untuk dibutuhkan, dicintai, dan dihargai. Itu berlaku tidak hanya untuk pemain-pemain yang istimewa saja," ujar Tom Bates, salah seorang psikolog olahraga.

Bates menggunakan contoh ketika Pep Guardiola mengizinkan Lionel Messi untuk bermain pada Olimpiade 2008 untuk Argentina. Pep, yang berhasil memenangi medali emas Olimpiade pada tahun 1992, bisa melihat hal ini melalui perspektif yang positif.

Hal ini terjadi jauh sebelum Messi menjadi mesin gol Barcelona. Kala itu Pep bisa berkata kepada Messi, "Pergi dan menangkanlah medali emas tersebut, tapi ketika kamu kembali ke sini, cetaklah banyak gol untuk kita," dan Messi melakukan semuanya. Itu adalah cara Guardiola untuk mengatakan, "Saya menghargaimu".




Sumber : http://sport.detik.com 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
0Comments

Penyakit Masyarakat yang Menghambat Perkembangan Pesepakbola Indonesia (Bagian 2)



Di bagian pertama tulisan ini telah dibahas pengaruh negatif kebiasaan buruk korupsi dan ketidakdisiplinan banyak elemen masyarakat pada perkembangan pemain,maka pada kesempatan kali ini akan gua bahas tiga kebiasaan buruk lainnya.

Sebelumnya perlu gua tekankan bahwa maksud dari tulisan ini bukan untuk menghujat atau maksud negatif lainnya, namun semata-mata untuk membuka mata kita bersama bahwa banyak sekali faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang pemain sepakbola, termasuk faktor pengaruh budaya. Harapan gua tulisan ini bisa membantu kita semua untuk tidak hanya kritis pada federasi (PSSI), pemain, dan pihak-pihak lainnya, namun juga berbesar hati untuk kritis pada diri sendiri; sejauh mana kita telah membantu atau malah menghambat perkembangan sepakbola Indonesia (baik secara langsung maupun tidak langsung)?

Kebiasaan Buruk Masyarakat Nomor Tiga: Cepat Puas 

Sebagai pelatih gua sering kecewa dengan perkembangan anak didik gua sendiri maupun pemain terkenal di Indonesia. Sedikit saja mengalami kesuksesan tingkah laku berubah menjadi sombong, latihan malas-malasan, dan lain-lain. Amat disayangkan, karena dengan sifat yang demikian potensi pemain tidak akan tercapai. Untuk main di liga Indonesia mungkin masih bisa, tapi bila dibandingkan dengan level tinggi luar negeri tentu tidak mumpuni. Kualitas timnas akhirnya tidak seperti yang seharusnya. Inilah yang membuat saya frustrasi; potensi pemain kita luar biasa, tapi berbagai faktor, termasuk faktor cepat puas ini, membuat kita pada akhirnya kalah dengan begitu banyak negara lain yang seharusnya berada di bawah kita.

Lalu bagaimana sikon masyarakat pada umumnya? Kalau mau jujur, sama saja; begitu banyak (walaupun tentu saja tidak semua) di antara kita yang terlalu cepat puas. Mensyukuri keadaan adalah hal yang positif, tapi seharusnya tidak menghalangi kita untuk terus berdoa dan berusaha untuk maju.

Kebiasan Buruk Masyarakat Nomor Empat: Enggan Belajar

Setali tiga uang dengan perasaan cepat puas adalah kebiasaan "mematikan", yakni enggan belajar. One leads to another.

gua engga tahu pasti apakah ini hanya perasaan gua aja, tapi sepertinya kualitas pendidikan malah menurun dibandingkan jaman dulu. Gelar sepertinya lebih gampang didapat daripada dulu. gua tidak asal bicara karena gua dan semua kakak-kakak gua lulusan sekolah Indonesia. Tapi semoga saja gua salah. Ya Tuhan, semoga gua salah, karena pendidikan yang berkualitas begitu (amat sangat) penting artinya bagi semua aspek kehidupan termasuk pembentukan budaya bangsa. Tingkat toleransi antarsuku dan agama, misalnya, berbanding lurus dengan tingkat dan kualitas pendidikan seseorang.

Di dunia sepakbola gua tahu persis banyak sekali pelatih enggan belajar. Sering gua menolak menandatangani piagam saat seminar kepelatihan bagi nama-nama yang tidak hadir. Salah kaprah; yang dicari secarik kertas piagam bukan ilmunya.

Merasa sudah pintar, angkuh, malas, malu, atau jaga image adalah sebagian alasan untuk tidak mau belajar. Sangat disayangkan karena "hukuman" untuk tidak mau belajar adalah tidak adanya perkembangan. Ujung-ujungnya individu yang enggan belajar akan kalah bersaing. Mutlak itu hukumnya. Trust me.


Masalahnya, apabila dosen, guru, tokoh agama, dokter, pelatih, dan sejenisnya enggan belajar, kengganan tersebut akan berpengaruh negatif bukan hanya pada dirinya sendiri namun juga kepada orang banyak; anak didik, pasien, umat dan pemain.

Karena itu gua keras pada pelatih yang enggan belajar.

Kita tertinggal teramat sangat jauh terutama karena pelatih yang menjadi ujung tombak pembinaan secara kualitas tertinggal jauh dari negara-negara lain. Salah siapa? Sebagian salah federasi yang tidak kunjung membuat akademi kepelatihan satu pintu bagi mereka yang ingin maju. Sebagian lainnya salah individu-individu yang enggan belajar tadi.

Kebiasaan Buruk Masyarakat Nomor Lima: Budaya Instan

Di jaman moderen ini segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat. Ada makanan cepat saji, bus yang melaju kencang mengejar setoran, cepat kaya (walau harus menghalalkan segala cara) dan cepat mati (umumnya karena stress dan teralu banyak mengonsumsi gula dan garam semakin banyak yang mengalami serangan jantung di usia relatif muda).

Pembinaan sepakbola bertolak belakang dengan itu semua. Alon-alon pokok kelakon, kata orang Jawa. Pelan-pelan asal berhasil. Falsafah ini sesuai dengan proses pembinaan. Diperlukan waktu. Diperlukan kesabaran. Diperlukan ketekunan. Tidak bisa sim salabim ala mie instan.



Masalahnya dunia sepakbola berada di dalam dunia secara keseluruhan. Karena terbiasa dengan budaya instan dalam kesehariannya pengurus sepakbola (termasuk juga banyak pihak lain seperti suporter, sponsor, wartawan, dan lain-lain) sering menerapkan hal yang sama ke dalam dunia sepakbola. Sory Bung, nggakbisa! Pemain butuh waktu untuk berkembang. Tim perlu waktu untuk menjadi satu. Kebiasaan bongkar pasang pemain dan kebiasaan membubarkan tim setelah event berakhir tidak akan menghasilkan apa-apa. Sekali-sekali bisa saja beruntung tapi secara keseluruhan, secara jangka panjang, klub ataupun federasi yang menganut "falsafah instan" akan tertinggal jauh.

Ilmu psikologi mengajarkan bahwa dibutuhkan sekitar 21 hari untuk mengubah sebuah kebiasaan buruk. Sebaliknya, hanya dibutuhkan 21 hari untuk mengubah kebiasaan baik menjadi buruk. Tapi intinya kunci ada pada kita; maukuah kita mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada pada kita?

Michael Jackson pernah "berkotbah" melalui lagunya "Man in the Mirror". Anda mau mengubah dunia? Ubahlah dulu orang yang anda lihat di cermin.

Salor (Salam Olahraga)!



Sumber : http://sport.detik.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
0Comments

Penyakit Masyarakat yang Menghambat Perkembangan Pesepakbola Indonesia (Bagian 1)


Masyarakat Indonesia pada umumnya cinta damai dan tidak neko-neko. Terus terang gua heran bahwa roda kehidupan masih berjalan dengan lumayan lancar di Indonesia meskipun hukum tidak kunjung berdiri tegak.

Situasi seperti ini di banyak negara lain gua yakin sudah sejak lama berujung fatal, tapi tidak di Indonesia. Gua salut buat masyarakat kita yang tetap taat hukum walau tanpa pengawasan yang memadai.

Walau demikian, harus diakui bahwa ada banyak kebiasaan buruk yang sudah sedemikian mengakar di dalam masyarakat kita. Kebiasaan-kebiasan buruk ini gua sebut dengan penyakit. Mengapa penyakit? Karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang akan kita telaah bersama memiliki persamaan dengan penyakit yakni akan semakin parah dan bahkan berujung pada kematian/kehancuran apabila tidak diobati/diatasi.

Gua akan fokus pada beberapa penyakit saja. Lebih dari itu, Gua akan mencoba menjabarkan hubungan antara penyakit-penyakit masyarakat kita dengan perkembangan pemain-pemain sepakbola Indonesia. Apa hubungannya korupsi dengan perkembangan seorang pemain bola, misalnya? Sepintas tidak ada, tapi sebenarnya hubungannya sangat erat.

Sebagai landasan pengetahuan, perlu lo ketahui bahwa dalam proses pembinaan seorang pemain bola, apabila dilakukan dengan benar dan secara sungguh-sungguh, ada tiga aspek yang harus ada apabila seorang pemain ingin meraih potensinya.

Faktor pelatih yang berkualitas adalah aspek yang pertama. Pelatih sangat berperan dalam pelaksanaanprogram latihan sehari-hari yang intensif dan efektif (aspek yang kedua), serta sangat berperan dalam hal transfer ilmu (baik hal-hal tehnis, taktik, psikologi, fisik, maupun pengetahuan akan pentingnya gizi dan lain-lain).

Aspek yang ketiga adalah fasilitas maupun faktor pendukung lainnya. Kualitas lapangan yang layak, tersedianya perlengkapan yang memadai, adanya kompetisi dan dukungan orang tua, adalah contoh bagian dari aspek ketiga ini. Termasuk di dalamnya adalah pengaruh budaya (baik budaya klub, budaya keluarga, budaya sekolah, budaya agamis, budaya lingkungan sekitar dan budaya bangsa secara keseluruhan) pada perkembangan pemain.

Seberapa besar pengaruh budaya sehari-hari yang ada disekitar lingkungan hidup pemain pada perkembangan pemain itu sendiri? Jawabnya besar. Bahkan besar sekali.

Sama seperti kita semua yang terpengaruh budaya yang ada di sekitar kita, terpengaruh kebiasaan-kebiasaan teman-teman kita, misalnya, demikian juga seorang pemain bola.

Nah, kebiasan-kebiasaan buruk apa saja yang bisa kita temui pada masyarakat kita yang sekaligus berpotensi merusak perkembangan seorang pemain bola? Mari kita diskusikan satu per satu.


Kebiasaan buruk masyarakat nomor satu: KORUPSI

Kita tentu setuju bahwa korupsi adalah penghambat kemajuan Indonesia secara keseluruhan. Tapi, secara spesifik, apa hubungannya korupsi dengan sepakbola apalagi perkembangan seorang pemain bola?

Pendanaan lewat APBD sangat rawan untuk dikorupsi. Semua tahu itu. Bahwa pelatih dan pemain sering diminta untuk memberikan kick back atau segepok uang kepada pengurus saat direkrut klub juga sudah jadi rahasia umum. Tapi itu bukan menjadi topik pembahasan kita kali ini. Saya lebih tertarik untuk membahas sisi korupsi yang sedikit berbeda: pencurian umur. "Mengorupsi" umur sangat-sangat sering terjadi di seluruh Indonesia. Pemain berumur 12 tahun dengan mudahnya disulap menjadi berumur 11 bahkan 10 tahun (atau lebih muda lagi!). Caranya lagi-lagi dengan korupsi; bayar sana-sini. Hasilnya semua berkas-berkas lengkap "membuktikan" bahwa anak tersebut "benar-benar" berumur sepuluh tahun.

Lalu apa hubungannya praktek yang melanggar asas fair play ini dengan perkembangan pemain? Bermain dengan pemain yang sebenarnya lebih muda mungkin menguntungkan orang tua, pemain, pelatih dan pengurus klub SSB dalam jangka pendek, tapi akan sangat merugikan untuk perkembangan jangka panjang pemain. Saat bermain dengan pemain yang lebih muda, pemain yang mencuri umur memang akan terlihat superior. Tapi semua pihak lupa (atau sengaja tidak mau tahu) bahwa prinsip "pedang mengasah pedang" juga berlaku di sepakbola. Artinya, pemain dengan talenta bagus seharusnya bermain ke atas (bukan malah ke bawah), sehingga terus terasah skill-nya saat berlatih dan bertanding dengan pemain-pemain yang setara (bahkan lebih bagus) darinya. Ujung-ujungnya kemampuan pemain akan terus berkembang dan akhirnya "jadi" (berhasil meraih potensinya dan menjadi pemain yang andal).

Karena beralasan "toh yang lain juga melakukan" akhirnya banyak sekali pemain bertalenta tinggi di seluruh Indonesia tidak meraih potensinya. Kalau efek negatif dari kebiasaan buruk ini terus ditelusuri, ujung-ujungnya yang rugi besar adalah timnas Indonesia itu sendiri.

Maka dari itu, izinkan saya untuk mengingatkan; sudahkah kita semua bebas dari praktik korupsi dalam bentuk apapun, baik kecil maupun besar? Kalau belum berarti kita ikut andil dalam menjaga kelestarian sebuah kebiasaan buruk yang turut berpengaruh pada prestasi timnas kita.

Kebiasaan buruk masyarakat nomor dua: Tidak Disiplin



Saat orang-orang Eropa berkunjung, hal-hal yang seketika tak luput dari perhatian mereka adalah banyaknya jumlah penduduk, semrawutnya jalan raya dan banyaknya sampah yang berserakan. Harus diakui masih banyak di antara kita yang tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan mau menang sendiri di jalanan. Gua juga masih sering mendapati penumpang mobil mewah yang membuang sampah dari kaca jendela. Dengan santainya. Tanpa ada rasa bersalah.

Oke, itu gak bener, tapi apa hubungannya dengan perkembangan si Ahmad, 11 tahun, pemain sepakbola paling hebat di Pekalongan, misalnya?

Hubungannya jelas; kalau sehari-hari si Ahmad sering melihat contoh-contoh negatif di sekitarnya, secara tidak langsung sifat disiplin tidak tertanam di dalam dirinya, bagimana mungkin ia bisa meraih potensinya sebagai seorang pemain bola? Bukankah untuk meraih potensinya ia harus terus dan terus berlatih yang menuntut sifat kedisiplinan yang tinggi? Bukankah para "Ahmad" di seluruh Indonesia harus menjaga konsumsi makanan dan minuman mereka dengan penuh disiplin guna mendaptkan gizi yang mereka butuhkan untuk bisa bermain sepakbola dengan optimal? Bukankah dibutuhkan sifat disiplin untuk melakukan arahan pelatih (tidak bermain sesuka hati, namun sebagai bagian dari tim) dan tidak bermain dengan egois, misalnya?

Memiliki tingkat kedisiplinan yang sangat tinggi adalah sebuah keharusan yang mutlak dimiliki oleh seorang pemain sepakbola dalam usahanya untuk meraih potensinya. Amat disayangkan contoh positif dalam hal kedisiplinan semakin sulit ditemui. Anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang tidak disiplin, lalu kita heran saat pemain-pemain kita banyak yang tidak disiplin. Tidak disiplin dalam berlatih, tidak didiplin secara taktis dan tidak disiplin dalam gaya hidup (istirahat, pola makan dan lain-lain).

Kalau Lo masih menyalakan handphone di dalam pesawat, misalnya, atau tidak menyiram setelah menggunakan toilet umum Lo juga tidak berhak mengkritik pemain nasional kita yang terkadang tidak disiplin dalam bertingkah laku. Fair or not?

Ingin membantu sepakbola Indonesia sebagai orang awam? Mulailah dengan membiasakan diri untuk disiplin untuk kemudian menjadi contoh yang positif bagi lingkungan (terutama anak-anak) di sekitar anda. Kita nyalakan lilin-lilin kecil kedisiplinan. Bersama kita bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik, termasuk sepakbola Indonesia.

(Tiga kebiasaan buruk lain akan dibahas dalam artikel selanjutnya)

Salor (Salam Olahraga)!



Sumber : http://sport.detik.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
0Comments

Gaya Bermain Tim Sepakbola: Antara Idealisme, Realitas dan Mitos



"Sederhana. Ia tidak memainkan gaya Tottenham (Tottenham way),"kata seorang penggemar klub ini dengan penuh percaya diri, dalam sebuah diskusi radio tentang pemecetan Andre Villas-Boas beberapa waktu lalu.

Gaya Tottenham?

"Menyerang, operan bola yang cepat, keterampilan tinggi, imajinatif, inovatif dan seterusnya dan seterusnya. Pokoknya permainan yang menawan dan menghibur," begitu penjelasan pendukung Tottenham kalau ditanya.

Tetapi tunggu dulu. Bukankah gaya permainan seperti itu pula yang diklaim oleh pendukung Arsenal, Liverpool, Manchester United, Chelsea, dan sekian klub besar dan kecil Inggris lainnya.

Anda ingat ketika pendukung West Ham menyatakan penolakan mereka dengan penunjukan Sam Allardyce sebagai manajer? "Allardyce dengan gaya asal tendang ke depan akan merusak gaya West Ham (West Ham way),’" kata penolaknya. West Ham way yang dimaksud tentu saja sama dengan Tottenham way di atas.

Bahkan tahun lalu pemecatan Tony Pulis oleh Stoke City juga dikait-kaitkan dengan hal ini. Pulis sering diejek penggemar bola lantaran menampilkan gaya bermain yang lebih mirip rugby --tabrak sana-sini-- ketimbang bermain bola. "Kami menginginkan pelatih yang bisa menampilkan gaya Stoke yang sesungguhnya," ujar penggemar Stoke yang mendukung pemecatan Pulis.

Gaya Stoke yang sesungguhnya? Anda mungkin boleh bertanya dengan sinis soal itu. 

Tetapi janganlah mempertanyakan klaim dari Stoke ataupun klub-klub semenjana lain bahkan gurem, semacam yang diklaim Tottenhami itu. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah mengapa begitu banyak (pendukung) klub yang melakukan klaim seperti ini? 

Sama seperti juga kehidupan kelompok masyarakat lain, masyarakat bola sebenarnya selalu bergerak dalam tiga dataran: ideal, realitas-sejarah dan mitos. Tiga kaki yang membangun klaim hampir semua klub bola itu.

Kalau anda bertanya pada masyarakat, seperti apa tatanan sosial yang ideal itu, maka anda akan mendapat sekian macam jawaban yang berbeda, tergantung latar belakang sosial, politik dan keagamaan mereka. Tetapi tanyakan pada masyarakat bola permainan seperti apa yang ideal, jawabannya akan seragam seperti yang dikatakan pendukung Tottenham itu. Kecuali kalau mereka berbohong, tentu saja.




Idealisasi itu berakar pada kesadaran sepenuhnya bahwa yang paling mendasar dari permainan sepakbola, setelah dipangkas atribut-atribut lainnya, adalah permainan untuk hiburan. Dan tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan dalam sepakbola selain gaya permainan yang mempertontonkan serangan, keterampilan yang tinggi, imajinasi dan inovasi. Itu puncaknya.

Beruntunglah bahwa idealisme itu bersifat nilai (dan karenanya abstrak). Ia bukan layaknya sebuah penemuan (benda) di bidang teknologi yang dipatenkan. Tidak ada pembatasan kepemilikan. Ia juga lebih mirip puisi yang kaya kalimat bersayap dan simbolik, yang telah lepas dari tangan penulisnya. Bisa ditafsir dan dimaknai sendiri oleh masing-masing pembacanya.

Itulah sebab begitu banyak klub mengklaim gaya ideal permainan sepakbola sebagai milik mereka. Karena gaya tersebut adalah bayangan permainan milik masyarakat sepakbola keseluruhan. Bukan ekslusif milik satu dua kelompok.

Kalaulah ada satu klub mengatakan filosofi klub mereka selalu menampilkan permainan yang ideal, maka kita sebenarnya sedang berbicara persoalan aspirasi. Di dataran realitas tidaklah selalu seperti itu. Ada konteks pertandingan, faktor pelatih, sejarah, dan tentu saja --seperti masyarakat pada umumnya-- amnesia selektif.

Kita berbicara saja tentang beberapa contoh, klub-klub yang saat ini dianggap besar dan juga rentang waktu yang jangan terlalu jauh.

Ambil contoh Arsenal. Para pendukungnya sekarang boleh mengatakan the Arsenal way, filosofi permainan bola sajian gaya menyerang indah polesan Arsene Wenger. Namun sedikit mundur saja ke belakang kita tahu bahwa Arsenal tidak selalu seperti itu.

"Boring boring Arsenal – Arsenal yang menjemukan" adalah nyanyian ejekan di pertengahan tahun 80an karena seringnya mereka menang tipis. Mencetak satu gol lalu tutup warung, mengandalkan pertahanan yang solid. Ejekan itu baru berakhir ketika Wenger masuk dan mengubah gaya permainan mereka. Bahkan, setahun setelah Wenger masuk, nyanyian ejekan itu masih sering terdengar di Highbury.

Liverpol menjadi raja domestik dan Eropa sepanjang 70an dan 80an karena mampu mengawinkan permainankick and rush gaya Inggris dan bola-bola pendek khas Eropa daratan dengan cantik. The Liverpool way.

Tetapi yang dilupakan orang adalah pada saat bersamaan Liverpool sering menampilkan permainan yang sangat membosankan. "Kami menguasai seni safety first ke kiper," kata Alan Hansen, pilar jantung pertahanan Liverpool di masa jaya klub itu, suatu ketika.

Sangat negatif. Anda pasti ingat bahwa pada masa itu peraturan memperbolehkan kiper menangkap bola dari pemain mereka sendiri. Saat itu, Liverpool adalah rajanya untuk yang satu ini.

Manchester United way? "Cetak gol sebanyak mungkin gol ke gawang kami, kami akan mencetak lebih banyak lagi," kata pendukung klub ini seolah mewakili klub menjelaskan filosofi permainan mereka. Seolah menjanjikan permainan yang selalu menyerang, menarik dan terbuka.

Tetapi Manchester United tak selalu seperti itu. Salah satu kehebatan klub ini adalah bermain buruk tetapi tetap bisa menang dengan skor tipis. Dan itu sering.

Chelsea memainkan sepakboa yang lebih bagus ketika masih ditangani Glen Hoddle, Ruud Gullit maupun Gianluca Vialli. Para pendukung awalnya mengeluh ketika Jose Mourinho datang dan menyebutnya tak paham dengan the Chelsea way. Tetapi ketika Chelsea mulai mendominasi sepakbola Inggris, pendukungnya lupa, bungkam dan kemudian bergembira.




Anda tahu, amnesia selektif adalah kekhasan kita umat manusia. Mengingat dan menyimpan hanya yang kita mau, lalu mendorong yang tidak kita inginkan ke pinggir ruang ingatan. Dan ketika ranah ideal dan realitas bertemu menjadi satu, para penggemar bola melakukan proses seleksi yang sama. Sehingga yang mereka ingat hanyalah hal-hal yang mereka anggap cocok dengan permainan ideal sepakbola.

Itu yang terjadi di Liverpool, Manchester United, Chelsea, Arsenal, West Ham, Stoke dan sekian banyak klub lainnya.

Tentu saja dengan sejarah bola yang sudah begitu panjang di Inggris , setiap klub mempunyai satu masa, sekian pertandingan, sekian pelatih yang menampilkan permainan ideal itu. Bahwa ada juga yang kebalikannya, tidak masalah. Seperti saya katakan: yang berkebalikan, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal akan didorong untuk dibuang dan dilupakan dan dikatakan bukan gaya kami, tidak sesuai dengan filosofi kami dan lain sebagainya.

Di sinilah kemudian mitos mempunyai celah untuk masuk, menjembatani realitas dan yang ideal. Mitos, seperti kita tahu, pengertian sederhananya adalah dongeng untuk menjelaskan realitas yang dihadapi manusia terkait dengan "sesuatu" yang lebih besar (supra).

Ia, mitos dalam konteks klub sepakbola, adalah sebuah upaya untuk mendudukkan gaya permainan klub dalam atmosfer ideal permainan sepakbola. Amnesia selektif adalah prosesnya: upaya untuk melakukan eksklusi dan inklusi. Datanya tersedia di perjalanan sejarah klub.

Karenanya ketika orang mengatakan ......... way (silakan isi titik itu sendiri dengan klub yang mana saja), ia sedang mendongeng-mencoba menjembatani realita gaya bermain klubnya dan yang ideal-sepakbola yang seharusnya sebagai sebuah hiburan.



Sumber : http://sport.detik.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
0Comments

Taktik, Strategi dan Formasi dalam Sepakbola




Taktik adalah suatu siasat atau akal yang dirancang dan akan dilaksanakan dalam permainan oleh perorangan, kelompok, maupun tim untuk memenangkan suatu pertandingan secara sportif.

Pada hakikatnya, penggunaan taktik dalam sepakbola adalah suatu usaha mengembangkan kemampuan berpikir, kreativitas, serta improvisasi untuk menentukan altenatif terbaik memecahkan masalah yang dihadapi dalam suatu pertandingan secara efektif, efesien, dan produktif dalam rangka memperoleh hasil yang maksimal yaitu sebuah kemenangan dalam pertandingan.

Strategi adalah suatu siasat atau akal yang dirancang sebelum pertandingan berlangsung dan digunakan oleh pemain maupun pelatih untuk memenangkan pertandingan yang dilaksanakan secara sportif dan sehat.

Strategi mengacu pada gerakan-gerakan yang dibutuhkan dalam pertandingan. Kedudukan strategi dalam olahraga memiliki makna sebagai pendukung aspek taktik olahraga. Dengan demikian, antara taktik dan strategi memiliki perbedaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya keduanya saling berkaitan serta mendukung untukmencapai tujuan yang sama, yaitu memenangkan pertandingan.

Taktik dalam aplikasinya secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 

1. Taktik Penyerangan.

Taktik penyerangan diartikan sebagai suatu siasat yang dijalankan oleh perorongan, kelompok,maupun tim terhadap lawan dengan tujuan memimpin dan mematahkan pertahanan dalam rangka memenangkan pertandingan secara sportif.


Taktik penyerangan dapat dibedakan menjadi:
a. Taktik mencari tempat kosong di antara pemain lawan. 
b. Taktik melakukan gerakan tersusun, baik yang membawa bola maupun tidak (memanfaatkan lebar lapangan). 
c. Taktik bermain ketat (jeli melihat peluang). 

2. Taktik Pertahanan

 Taktik pertahanan diartikan sebagai suatu siasat yang dijalankan oleh perorangan,kelompok, maupun tim terhadap lawan dengan tujuan menahan serangan lawan agar tidak mengalami kekalahan atau kelelahan dalam pertandingan.

Taktik pertahanan dapat dibedakan menjadi:
a. Man to man defence, setiap pemain membayangi satu lawan (satu lawan satu). 
b. Zone defence, setiap pemain bertanggung jawab atas daerah pertahanannya. 
c. Kombinasi, yaitu taktik man to man defence dan zone defence. 

3. Taktik Perorangan

Taktik perorangan diartikan sebagai siasat yang dilakukan oleh seorang pemain dalam menggunakan kemampuan fisik, teknik, dan mental yang dilakukan dengan proses yang cepat untuk menghadapi masalah yang terjadi dalam suatu pertandingan. 

4. Grup Taktik

Grup taktik diartikan suatu siasat yang dijalankan dua orang pemain atau lebih dalam melakukan pertahanan dan penyerangan untuk mencari kemenangan secara sportif pada suatu pertandingan.

5. Kolektif Taktik

Kolektif taktik diartikan suatu siasat yangdijalankan oleh suatu regu dalam menjalin kerja sama untuk mencari kemenangan dalam suatu pertandingan. 



Cara Menentukan Taktik

Dalam menentukan taktik perlu memperhatikan hal-hal seperti berikut:
1. Apa yang bisa dilakukan pemain saat bertanding.
2. Pelatih harus mengetahui atau paham benar akan kemampuan para pemainnya sendiri dan pemain calon lawan.
3. Pemberian tugas kepada pemainnya dalam menghadapi kesebelasan calon lawan harus diuji coba dalam latihan.
4. Harus mengetahui terlebih dahulu taktik yang biasa digunakan oleh calon lawan.
5. Memperhatikan situasi penonton dan kondisi lapangan.



Taktik dalam permainan sepakbola sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar bermain sepakbola, antara lain sebagai berikut:

1. Teknik atau keterampilan bermain (skill


Bagaimanapun sederhananya taktik yang dilakukan, tidak mungkin dapat dikerjakan tanpa penguasaan teknik atau keterampilan yang baik. Artinya, teknik dasar bermain bola harus dapat dikuasai dengan baik.

2. Kondisi fisik atau kesegaran jasmani

Taktik harus di dasari dengan kondisi fisik yang baik, yaitu tentang dasar-dasar atletik, daya tahan, kekuatan, kecepatan, kelincahan. Tanpa adanya hal tersebut taktik yang diterapkan tidak akan dapat berjalan secara optimal.

3. Kecerdasan, daya ingat dan mental yang baik

Untuk dapat menjalankan taktik secara baik pemain harus ditunjang dengan kecerdasan, daya ingat untuk berpikir cepat dalam permainan, di samping mental yang kuat untuk tidak takut terhadap terror pemain lawan maupun penonton.

4. Pemain mengerti peraturan permainan

Supaya pemain dapat melaksanakan permainan dengan baik dan sportif maka setiap pemain harus mengerti dan menguasai peraturan permainan. 


Formasi dalam bermain sepakbola

Formasi (sistem) dalam permainan sepakbola yang ditetapkan pada peratuaran sepakbola adalah cara penempatan, ruang gerak serta pembagian tugas dari setiap pemain dengan posisi yang di tempatinya. Hal tersebut berlaku baik pada saat melakukan penyerangan maupun pada waktu melaksanakan pertahanan. Dengan sistem ini, setiap pemain telah mengetahui tugas utamanya, daerah atau ruang gerak masing-masing, memahami apa yang harus dilakukan pada saat menyerang atau bertahan dan kemana harus bergerak.

Dengan formasi, maka pola penyerangan dan pertahanan akan terkoordinir dengan rapi dan kerja sama akan jauh lebih terarah. Setiap formasi mempunyai ciri-ciri dan menuntut kualitas atau tingkat kemampuan pemain yang berbeda-beda. Bahkan setiap posisi pemain dalam sistem tertentu memerlukan kualitas pemain yang tidak sama.




Beberapa contoh formasi yang biasa dilakukan dalam permainan sepakbola:

1. 3 – 5 – 2 : 3 pemain belakang, 5 pemain tengah, dan 2 pemain depan. 
2. 4 – 3 – 3 : 4 pemain belakang, 3 pemain tengah, dan 3 pemain depan. 
3. 4 – 4 – 2 : 4 pemain belakang, 4 pemain tengah, dan 2 pemain depan 
4. 4 – 5 – 1 : 4 pemain belakang, 5 pemain tengah, dan 1 pemain depan. 
5. 4 – 2 – 4 : 4 pemain belakang, 2 pemain tengah, dan 4 pemain penyerang. 
6. 4 – 2 – 3 - 1 : 4 pemain belakang, 2 pemain tengah, 3 pemain gelandang serang dan 1 penyerang. 
7. 4 – 2 – 1 - 3 : 4 pemain belakang, 2 pemain tengah, 1 playmaker dan 3 penyerang. 
8. 3 – 4 – 1 - 2 : 3 pemain belakang, 4 pemain tengah, 1 playmaker dan 2 penyerang. 
9. 3 – 4 – 2 - 1 : 3 pemain belakang, 4 pemain tengah, 2 penyerang lubang dan 1 penyerang tunggal. 
10. Dan seterusnya.

Demikian yang bisa kami bahas tentang taktik, strategi dan formasi dalam bermain sepakbola. Semoga bermanfaat.



Sumber : http://sport.detik.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
0Comments