Pages

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Penyakit Masyarakat yang Menghambat Perkembangan Pesepakbola Indonesia (Bagian 2)



Di bagian pertama tulisan ini telah dibahas pengaruh negatif kebiasaan buruk korupsi dan ketidakdisiplinan banyak elemen masyarakat pada perkembangan pemain,maka pada kesempatan kali ini akan gua bahas tiga kebiasaan buruk lainnya.

Sebelumnya perlu gua tekankan bahwa maksud dari tulisan ini bukan untuk menghujat atau maksud negatif lainnya, namun semata-mata untuk membuka mata kita bersama bahwa banyak sekali faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang pemain sepakbola, termasuk faktor pengaruh budaya. Harapan gua tulisan ini bisa membantu kita semua untuk tidak hanya kritis pada federasi (PSSI), pemain, dan pihak-pihak lainnya, namun juga berbesar hati untuk kritis pada diri sendiri; sejauh mana kita telah membantu atau malah menghambat perkembangan sepakbola Indonesia (baik secara langsung maupun tidak langsung)?

Kebiasaan Buruk Masyarakat Nomor Tiga: Cepat Puas 

Sebagai pelatih gua sering kecewa dengan perkembangan anak didik gua sendiri maupun pemain terkenal di Indonesia. Sedikit saja mengalami kesuksesan tingkah laku berubah menjadi sombong, latihan malas-malasan, dan lain-lain. Amat disayangkan, karena dengan sifat yang demikian potensi pemain tidak akan tercapai. Untuk main di liga Indonesia mungkin masih bisa, tapi bila dibandingkan dengan level tinggi luar negeri tentu tidak mumpuni. Kualitas timnas akhirnya tidak seperti yang seharusnya. Inilah yang membuat saya frustrasi; potensi pemain kita luar biasa, tapi berbagai faktor, termasuk faktor cepat puas ini, membuat kita pada akhirnya kalah dengan begitu banyak negara lain yang seharusnya berada di bawah kita.

Lalu bagaimana sikon masyarakat pada umumnya? Kalau mau jujur, sama saja; begitu banyak (walaupun tentu saja tidak semua) di antara kita yang terlalu cepat puas. Mensyukuri keadaan adalah hal yang positif, tapi seharusnya tidak menghalangi kita untuk terus berdoa dan berusaha untuk maju.

Kebiasan Buruk Masyarakat Nomor Empat: Enggan Belajar

Setali tiga uang dengan perasaan cepat puas adalah kebiasaan "mematikan", yakni enggan belajar. One leads to another.

gua engga tahu pasti apakah ini hanya perasaan gua aja, tapi sepertinya kualitas pendidikan malah menurun dibandingkan jaman dulu. Gelar sepertinya lebih gampang didapat daripada dulu. gua tidak asal bicara karena gua dan semua kakak-kakak gua lulusan sekolah Indonesia. Tapi semoga saja gua salah. Ya Tuhan, semoga gua salah, karena pendidikan yang berkualitas begitu (amat sangat) penting artinya bagi semua aspek kehidupan termasuk pembentukan budaya bangsa. Tingkat toleransi antarsuku dan agama, misalnya, berbanding lurus dengan tingkat dan kualitas pendidikan seseorang.

Di dunia sepakbola gua tahu persis banyak sekali pelatih enggan belajar. Sering gua menolak menandatangani piagam saat seminar kepelatihan bagi nama-nama yang tidak hadir. Salah kaprah; yang dicari secarik kertas piagam bukan ilmunya.

Merasa sudah pintar, angkuh, malas, malu, atau jaga image adalah sebagian alasan untuk tidak mau belajar. Sangat disayangkan karena "hukuman" untuk tidak mau belajar adalah tidak adanya perkembangan. Ujung-ujungnya individu yang enggan belajar akan kalah bersaing. Mutlak itu hukumnya. Trust me.


Masalahnya, apabila dosen, guru, tokoh agama, dokter, pelatih, dan sejenisnya enggan belajar, kengganan tersebut akan berpengaruh negatif bukan hanya pada dirinya sendiri namun juga kepada orang banyak; anak didik, pasien, umat dan pemain.

Karena itu gua keras pada pelatih yang enggan belajar.

Kita tertinggal teramat sangat jauh terutama karena pelatih yang menjadi ujung tombak pembinaan secara kualitas tertinggal jauh dari negara-negara lain. Salah siapa? Sebagian salah federasi yang tidak kunjung membuat akademi kepelatihan satu pintu bagi mereka yang ingin maju. Sebagian lainnya salah individu-individu yang enggan belajar tadi.

Kebiasaan Buruk Masyarakat Nomor Lima: Budaya Instan

Di jaman moderen ini segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat. Ada makanan cepat saji, bus yang melaju kencang mengejar setoran, cepat kaya (walau harus menghalalkan segala cara) dan cepat mati (umumnya karena stress dan teralu banyak mengonsumsi gula dan garam semakin banyak yang mengalami serangan jantung di usia relatif muda).

Pembinaan sepakbola bertolak belakang dengan itu semua. Alon-alon pokok kelakon, kata orang Jawa. Pelan-pelan asal berhasil. Falsafah ini sesuai dengan proses pembinaan. Diperlukan waktu. Diperlukan kesabaran. Diperlukan ketekunan. Tidak bisa sim salabim ala mie instan.



Masalahnya dunia sepakbola berada di dalam dunia secara keseluruhan. Karena terbiasa dengan budaya instan dalam kesehariannya pengurus sepakbola (termasuk juga banyak pihak lain seperti suporter, sponsor, wartawan, dan lain-lain) sering menerapkan hal yang sama ke dalam dunia sepakbola. Sory Bung, nggakbisa! Pemain butuh waktu untuk berkembang. Tim perlu waktu untuk menjadi satu. Kebiasaan bongkar pasang pemain dan kebiasaan membubarkan tim setelah event berakhir tidak akan menghasilkan apa-apa. Sekali-sekali bisa saja beruntung tapi secara keseluruhan, secara jangka panjang, klub ataupun federasi yang menganut "falsafah instan" akan tertinggal jauh.

Ilmu psikologi mengajarkan bahwa dibutuhkan sekitar 21 hari untuk mengubah sebuah kebiasaan buruk. Sebaliknya, hanya dibutuhkan 21 hari untuk mengubah kebiasaan baik menjadi buruk. Tapi intinya kunci ada pada kita; maukuah kita mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada pada kita?

Michael Jackson pernah "berkotbah" melalui lagunya "Man in the Mirror". Anda mau mengubah dunia? Ubahlah dulu orang yang anda lihat di cermin.

Salor (Salam Olahraga)!



Sumber : http://sport.detik.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar